Minat Generasi Muda Akan Bahasa dan Tembang Jawa
Dari pengalaman pribadi saya dalam menghadapi kondisi mayarakat Jawa pada periode berbeda nampak semakin menurun minatnya akan bahasa dan tembang (lagu) Jawa. Penurunan ini rasanya cukup significant sehingga apabila kecnderungan ini tidak diupayakan penanggulangannya suatu saat akan sampai pada titik paling rendah.
Saya dilahirkan dan dibesarkan dalam komunitas keluarga Jawa. Mulai belajar di SD, SMP dan SMA di kota Semarang. Tahun 1965 duduk di kelas III SMA. Lepas SMA melanjutkan perguruan tinggi di Yogyakarta. Jadi selama kanak-kanak sampai dengan remaja menjelang dewasa hidup dalam komunitas Jawa, di daerah Jawa, bahasa pengantar dalam pergaulan keluarga, masyarakat sekolah maupun daerah tempat tinggal sepenuhnya berbahasa Jawa. Selama usia kerjapun sekalipun berpindah-pindah tempat tetap pada komunitas Jawa Tengah.
Oleh karena itu bukan barang aneh sikap dan minat saya terbentuk dengan lingkungan dan budaya Jawa. Bukannya sukuisme, tetapi karena pengaruh lingkungan yang kuat itulah sehingga seni musik Jawa dan sastra Jawa yang paling saya minati dan akarab dalam kehidupan saya. Namun demikian saya tetap terbuka untuk seni dan budaya lain. Saya juga menyukai musik keroncong, musik dangdut dan tembang Sunda. Demikian juga menyenangi musik klasik India dan Cina. Lagu pop Barat dan Indonesia tertentu yang demikian indah di telinga saya. Karena itulah penulis sangat sependapat apabila dinyatakan bahwa budaya Jawa itu adalah budaya yangadi luhung.
Minat generasi muda akan sastra dan musik Jawa semakin menurun.
Dari pengamatan dan banyak kejadian yang saya hadapi, membuat hati ini cemas suatu saat nanti budaya Jawa yang adi luhung itu (seni musik/tembang dan bahasa) akan kehilangan peminatnya. Mungkin ini rasa cemas penulis yang berlebih-lebihan. Namun silakan Anda mengikuti penuturan saya akan beberapa hal di bawah ini:
Pertama:
Sekitar tahun 80-an, masa itu sedang digalakkannya penataran P-4 oleh Pemerintah Republik Indonesia. Penataran P-4 type A, B dan C, kebetulan saya terkait dengan pekerjaan di sebuah BUMN ditunjuk sebagai manggala (penatar P-4) type-B dan C bagi masyarakat pedesaan di wilayah kabupaten Kendal untuk materi penataran GBHN. Tiap angkatan memakan waktu empat hari. Satu hari sendiri tugas penulis untuk menyampaikan materi penataran GBHN tujuh jam lebih, disamping satu hari lagi untuk pendalaman materi. Peserta penataran warga umumnya masyarakat petani di desa yang rata-rata berpendidikan rendah dengan usia 10 – 15 tahun diatas umur saya yang saat itu berusia 33 tahun.
Karena peserta tidak biasa berjam-jam duduk mendengarkan orang pidato, maka saya berusaha mengembangkan methoda sendiri dengan tetap berpegang pada tuntunan resmi penataran P-4 dengan bahasa Indonesia. Untuk kebanyakan petani di desa bahasa sehari-hari adalah bahasa Jawa. Untuk orang-orang tertentu yang penidikannya rendah memang lebih lancar berbahasa Jawa.
Saya banyak memberikan selingan dalam ceramah GBHN itu dengan tembang/sekar macapat. Maka saya menyiapkan beberapa pupuh cakepan tembang Pangkur yang isinya pesan-pesan pembangunan (GBHN) tentu saja dengan bahasa Jawa murni. Setiap baris ditembangkan, kemudian diuraikan dengan bahasa Indonesia campur bahasa Jawa. Pada baris-baris tertentu dalam penulis menyampaikan tembang Jawa itu peserta penataran diminta ‘nyenggaki’ secara spontan misal “Ajar sabar aja dha kesusu, sawahe jembar-jembar parine lemu-lemu.” Ternyata peserta sangat anthusias dan responsif. Malah kadang-kadang ada senggakan spontan yang ‘minir’ misal: “Ciu sak botole, mlebu sak……e.e.e.”; “Bandhulmu gadhekna……” !
Peserta wanita memberengut, peserta pria tambah semangat dan tertawa ngakak. Alhasil suasana penataran gayeng, hidup, meriah, santai dan seluruh peserta betah duduk berjam-jam tanpa bosan sampai dengan akhir penataran!
Dari kejadian ini penulis mencatat, ternyata tahun 80-an itu kelompok masyarakat pedesaan yang berusia 40 keatas masih besar minatnya akan seni musik/tembang Jawa secara aktif.
Kedua:
Delapan tahun kemudian,sekitar tahun 1988, saya mendapat tugas mengisi kegiatan inhouse trainning untuk para Penyuluh Pertanian Lapangan di kabupaten Kudus, dengan materi “Tehnik penampilan dalam Penyuluhan Pertanian”. Pesertanya semua para PPL dengan pendidikan minimal SPMA, beberapa sarjana dan sarjana muda, dengan usia 5 – 10 tahun di bawah penulis. Semuanya suku Jawa yang bahasa sehari-hari adalah bahasa Jawa.
Karena sasaran penyuluhan adalah petani-petani Jawa/komunitas Jawa saya menyarankan penyuluhan dengan bahasa Jawa murni. saya juga mengembangkan methoda “Menyuluh dan Menghibur” yaitu seperti dalam penataran P-4, penyuluh menyampaikan materi penyuluhan dengan tembang Jawa. saya memberi contoh dengan satu pupuh tembang pangkur yang berisi pesan pembangunan pertanian dan perkebunan. saya minta peserta pelatihan untuk ‘nyenggaki’, namun tak ada seorangpun yang nyambung. Peserta seluruh kabupaten sekitar 100 orang PPL lebih yang terbagi dalam 5 BPP semuanya komunitas Jawa tak seorangpun menyatakan sanggup melaksanakan methoda penyuluhan yang ingin saya kembangkan, dengan alasan mereka tidak bisa nembang macapat satu jenispun!
Methoda ini sebenarnya diilhami acara pak Basiyo siaran di RRI Yogyakarta seminggu sekali programa “Uyon-uyon manasuka-Pangkur Jenggleng” pada waktu penulis masih sekolah di Yogyakarta. Penulis memperhitungkan, cara penyuluhan demikian dengan mengajak para peserta penyuluhan ikut ambil bagian dengan nembang ‘senggak-an’, maka peserta akan lebih terhibur, akhirnya bisa menerima materi penyuluhan dengan lebih jelas!
Komunitas kedua ini ternyata sudah berbeda responnya terhadap seni tembang/musik Jawa, sekalipun masih sama-sama lancar bertutur bahasa Jawa murni walaupun masih sering terdengar mereka bilang: “Sakderengipun mriki kula sampun dhahar rumiyin”(!)
Ketiga:
Pada masa itu saya mengamati mulai banyak keluarga muda kepada putera-puterinya yang masih kanak-kanak dibiasakan berbahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam keluarga. Sehingga generasi baru semakin tidak bisa berbahasa Jawa yang baik dan benar, akibat lebih lanjut adalah semakin hilangnya minat generasi penerus untuk berbicara bahasa Jawa! Dan yang paling sulit bagi mereka adalah bertutur bahasa Jawa, membedakan ngoko, krama dan krama inggil.
Keempat:
Tahun 2000-an dari pengamatan saya, generasi baru di kota Yogyakarta dan surakarta, keluarga muda yang berasal dari keluarga Jawa, ketika punya anak-anak juga sudah tidak bisa lagi bahasa Jawa sekalipun mereka di lahirkan dan dibesarkan di daerah Yogyakarta yang dikenal sebagai pusat budaya Jawa, karena bahasa pengantar di keluarganya sehari-hari adalah bahasa Indonesia. Sementara di sekolah SD, SMP maupun SMA mata pelajaran Bahasa Jawa sudah dikeluarkan dari kurikulum!
Memang keluarga-keluarga muda yang asli Yogyakarta/Surakarta atau Jawa Tengah pada umumnya ini tidak salah membiasakan anak-anaknya berbahasa Indonesia di lingkungan keluarganya karena bahasa Indonesia adalah bahasa Persatuan bangsa Indonesia jadi harus diprioritaskan. Yang dikhawatirkan ialah mereka tidak berusaha mengajarkan bahasa Jawa kepada anak-anaknya yang sebenarnya adalah bahasa-ibu, bahasa nenek moyang mereka.
Salah satu alasan ialah karena bapak-ibu muda itu sendiri juga kurang munguasai bahasa Jawa yang baik dan benar! Lebih memprihatinkan lagi apabila mereka berpendapat bahwa dalam kehidupan modern ini masih menggunakan bahasa Jawa dalam pergaulan adalah kuno! Sementara banyak orang-orang bule kebangsaan Amerika, Belanda, Inggeris, Australia jauh-jauh datang ke Indonesia hanya untuk belajar ndalang, nyinden, mbeksa dan main gamelan dengan berpakain beskap lengkap dan kain kebaya!
Sikap orang-orang Jawa seperti tersebut diatas menunjukkan bahwa mereka kurang mencintai budaya Jawa lagi. Bahkan ada yang berkomentar diantara orang Jawa sendiri maupun non Jawa, bahwa bahasa Jawa itu berakar pada feodalis, tidak demokratis dengan membeda-bedakan level sehingga ada bahasa Jawa ngoko, krama dan krama inggil. Kenapa mereka tidak melihat bahwa itu adalah budaya Jawa yang sebenarnya mencerminkan sikap selalu sopan dan menghormati orang lain??
Merenungi peristiwa pertama sampai dengan keempat inilah menimbulkan kecemasan besar dihati saya yang sampai sekarang masih mencintai budaya Jawa. Ada trend yang menurun dengan cepat dilihat dari kehidupan kultur atau budaya yang hidup dalam masyarakat. Dan bukan hal yang mustahil budaya Jawa yang adi luhung itu suatu saat tinggal dalam prasasti atau sejarah saja. Sangat menyedihkan apabila bangsa Indonesia untuk memperdalam bahasa dan budaya Jawa besok harus belajar di negara Belanda karena banyaknya sumber pustaka yang diangkut ke negara yang 350 tahun menjajah bangsa Indonesia termasuk orang-orang di Jawa!
Mudah-mudahan ini hanya kekhawatiran saya saja yang berlebihan. Namun kalau memang kekhawatiran saya itu beralasan, maka langkah apa yang harus dilakukan??
0 Response to "Minat Generasi Muda Akan Bahasa dan Tembang Jawa"
Posting Komentar